Love is in the air!

Ada perasaan ikut bahagia dan haru pada diri saya dalam seminggu ini. Selayaknya perasaan orangtua yang menyaksikan anak wanitanya disunting oleh pangeran tampan dari negeri seberang lautan. Suatu perasaan yang membahagiakan, seperti hadiah sekotak coklat di hari ulang tahun ke -17. Poetic, seperti scene panen safflower dari Omohide Poro Poro-nya Isao Takahata.  Dan hangat, seperti finale scene Mimi wo Sumaseba-nya Yoshifumi Kondo. Begitulah, saya mengharu-biru oleh cinta yang bertebaran disekitar saya.

Love is in the air, sparkling everywhere. Andai  otak manusia hanya terbuat dari gumpal gula kapas dan rasa cinta, niscaya Alfred Nobel tidak perlu berwasilah penghargaan untuk perdamaian. Dan grup band pencipta-lagu-mendayu-pengantar-minum-racun itu tidak bakal laku merekam lagu.  Love is contagious, striking anywhere. Dan saya yakin, tidak ada satu pun ilmuwan di dunia ini yang sudi membuat antidote-nya. Love is inspiring. Yang akan membuat para motivator-bayaran itu diabaikan seperti gombal kumal bekas lap motor.

Maturnuwun Gusti Allah, untuk semua cinta yang hadir di kehidupan saya. Orang tua, istri, seorang putri, dan…(semoga seorang putra).  Itulah energi saya. Love you all.

PS: congrats buat newlywed Juragan Teje atas calon putra/putri nya dan Mizan untuk new relationship-nya, karena kalian maka blog ini terposting lagi. 😀

Selamat Berpesta, Loenpia!

Ada suatu saat dimana segala sesuatunya menjadi biasa dari kehidupan di sekitar kita. Entah itu semburat matahari yang selalu muncul di ambang fajar, suara derik ekor cicak yang merayapi langit-langit kamar, hembusan angin panas di suatu sore bulan Agustus, laju lokomotif yang menghela gerbong secara perlahan sekuensial ataupun desah nafas gelisah ketika terbangun di sepertiga malam. Deret ukur waktu yang berlalu seolah hanya merupakan nyanyi sunyi seorang bisu, yang tidak terdengar dan tidak diperhatikan, waktu yang lewat tidak lebih hanya menjadi penggenap di simpul peristiwa yang terjadi seiring lelakon anak manusia. Maka tersebutlah 4 tahun silam di waktu yang sama dengan hari ini,  8 anak-anak peradaban di sudut masjid mentahbiskan komunitas suci blogger semarang raya. Tanpa hiruk pikuk pesta, atau konfeti yang dilempar ke udara, semuanya berlangsung begitu saja, bermula dari milis dan menjadi loenpia.

Konon Yang Mulia Hegel pernah berkata, kemajuan masyarakat terjadi karena semata-mata kemajuan pikiran, dan Hegel seolah mendapatkan pembuktiannya di loenpia, meski masih jauh dari detonator perubahan ala foco, tapi loenpia membuktikan dirinya tidak hanya sekedar komunitas maya dengan obrolan berbusa-busa. Di rentang empat tahun usia, tersebutlah beberapa titik pembuktian itu, bermula dari bakti sosial yang sporadis bermutasi menjadi force loenpia yang mulai tertata. Meski jangan berharap terlalu tinggi, karena toh biar bagaimanapun loenpia tetap loenpia, komunitas makan-makan berkedok blogger abal-abal, tetap ada balasan ngopril diantara diskusi serius di milis, tetap ada gojeg kere diantara kerut kening seorang pembuka tema serius, tetap ada nada sinis di debat kusir tentang hal yang kadang tak penting, tetap ada absen makan-makan yang selalu penuh, tetap ada jeruk bosok baru yang mengisi borang perkenalan berharap loenpia adalah biro jodoh, dan tetap (akan) ada ide besar yang hanya berakhir di kotak surat.

Selamat berpesta, Loenpia. Ngeri thok memang nda! Happy 4th Anniversary Loenpia! Kampaai, Loenpia Banzaii!!!

Refleksi Tak Tahu Diri…

Dan disinilah saya, sendirian di kandang tempat saya menjadi buruh, berefleksi tentang dua puluh sekian tahun masa hidup saya yang tidak terduga, suatu masa yang tiba-tiba dialami seperti ujung adegan film ketika tombol fast-forward dari remote sebuah pemutar cakram ditekan. Seolah-olah ada sesuatu di luar sana yang mem-fast-forward kehidupan saya, dari seorang bayi kecil yang lahir di kota bernama lucu tahu-tahu menjadi seorang bocah muda yang menyenangi gem-bot seratusan rupiah untuk sekali main, dan dipercepat lagi menjadi seorang lelaki kecil yang bersekolah di depan kantor penguasa kota di pesisir jawa, hingga terlempar di belantara batavia untuk menjadi buruh atas nama negara. Samar masih tercium aroma krupuk gendar bersiram sambal pedas artifisial yang dibeli sepulang sekolah berseragam merah putih dulu, sayup masih terdengar deru bus kota yang menjadi andalan saya pulang dari sekolah berseragam biru putih silam, ah, masa yang terasa begitu syahdu, ketika dunia seolah hanya berputar dari rumah ke gedung sekolah, ketika persaingan hanya berarti siapa yang meraih lebih banyak nilai sembilan di buku laporan, itu saja, simpel.

Tidak ada yang saya sesali, Gusti Allah Maha Baik, apa yang terjadi adalah apa yang saya inginkan dan direstui Beliau. Mengalir, tanpa hambatan dengan tempo yang terkontrol, selamat sampai ke episode terkini. Ketika episode masa roman berkelindan, maka itulah masa yang terindah, ketika seorang lelaki tak tahu diri bertandang ke rumah sakit jiwa demi sebuah rasa penasaran, disanalah roman bermula, ketika beberapa baris pesan singkat berbalas dan keuntungan mengalir pada provider-selular-laknat-bertarif-mahal itu, disanalah cerita terurai. Dan tombol fast-forward kembali ditekan pada masa ketika sebuah janji terpatri, dalam balutan acara menjelang dini hari, itulah masa dimana lelaki tak tahu diri itu bukan lagi jadi dirinya sendiri tapi adalah suami seorang wanita dengan kecantikan bidadari. A damn filthy lucky guy!

Ah, suatu masa di masa lalu, betapa saya adalah lelaki tak tahu diri yang sangat beruntung itu.

Hari Blogger What?

Agak terlambat memang bagi saya untuk menyadari kalau hari ini adalah hari bloger nasional, hari yang setahun lalu dideklarasikan oleh Pak Menkominfo sebagai Hablona (Hari Blogger Nasional), hari yang (konon) sakral bagi sebagian besar jagad blogosphere Indonesia.

Tapi tidak bagi saya, entahlah, apa yang saya lakukan setahun yang lalu saat mereka berkumpul dalam Pesta Blogger 2007 dan mendeklarasikan hari blogger itu, tidur mungkin.  Saya memang nge-blog, namun saya bukan blogger aktif, menyimak istilah dari wiki cahandong, saya pasti termasuk dalam kategori ciken apdet, yang tentunya akan saya terima dengan bangga, lha wong itu kenyataannya. Setahun berlalu, visi sosial dari blogger nasional terdefinisikan dalam tema Pesta Blogger tahun ini, “Blogging For Society”, tema besar yang tidak sekedar main-main di halaman belakang rumah namun beranjak ke suatu bentuk kepedulian sosial yang lebih besar. Suatu kontribusi nyata yang bakal meng-counter pendapat dari seorang “tokoh” yang pernah mencerca bahwa blog hanya merupakan katarsis belaka.

Hari ini, 27 Oktober 2008, hari yang dirayakan meriah di jejaring internet di Indonesia, semoga apa yang telah dirumuskan dalam tema besar Pesta Blogger 2008 dapat menjadi karya yang konkrit, bukan hanya perang kata-kata yang berbusa-busa di dunia maya, namun abai terhadap dunia di sekitar kita yang bahkan mengenal internet pun tidak apalagi sadar kalau ini adalah hari blogger nasional.

Selamat Hari Blogger Nasional!


Diarsipkan

Admin